Sumber : ochimkediri.wordpress.com
Merangkai cita – cita merupakan
hak setiap manusia, tetapi mewujdkannya satu demi satu adalah kewajiban bagi
mereka yang ingin sukses.
Sudah 3 bulan lebih saya
meninggalkan jawa, demi sebuah asa penghidupan yang layak di perantauan.
Kalimantan Barat sebagai tempat kami mengadu nasib, berjuang untuk mengisi
pundi – pundi uang guna pemenuhan tercukupinya kebutuhan sehari – hari. Memang
berat meninggalkan keluarga, yang nota bene kami adalah anak rumahan. Sudah 30
tahun kami hidup bersama orang tua, akan tetapi di masa tua bapak dan ibu, kami
justru meninggalkannya. Kalau dikatakan egois, ya memang demikian adanya. Toh
menurut kami, yang saya lakukan ini demi kebaikan semua. Sebenarnya di dalam
hati kecil saya, sungguh tidak tega melakukan ini semua. Merantau paling ideal
adalah ketika umur masih muda, sekitaran 18 tahun – 23 tahun. Sedangkan saya
memulai merantau ketika umur sudah menginjak 29 tahun. Ingin saya kembali ke
kampung halaman, membersamai orang tua, bercengkerama dengan mereka, curhat dan
meminta berbagai nasehat yang menyejukkan hati.
Di perantauan pun berbagai macam
tantangan menghadang. No pain no gain,
begitu kata pepatah asing. Tiada kesuksesan tanpa perjuangan. Persaingan untuk
menghasilkan uang sungguh pelik, apapun dilakukan guna mendapatkan rupiah. Tak
ada kata menyerah para perantau yang ingin maju dan sukses. Ada pedagang bakso,
yang rela menghabiskan hari – hari nya untuk berdagang. Penjual jamu pun
demikian juga, pagi dan sore digunakannya untuk berdagang. Penjual nasi goreng juga
tak kalah sibuknya, prinsip mereka adalah hidup adalah untuk bekerja. Rata –
rata mereka adalah perantau dari jawa, meninggalkan kampung halamannya dan
mencari pengalaman yang baru. Mereka merantau bukan tanpa alasan. Rerata mereka
mengikuti saudara atau orang tua mereka yang sudah merantau dulu. Usaha ini
turun temurun, mewariskan kepada anak cucu mereka untuk melanggengkan dinasti
bisnis mereka.
Adalah pak Saino, penjual bakso asal wonogiri. Sudah
30 tahun berdagang bakso keliling, menjajakan dagangannya di sekitaran kampus
Universitas Tanjung Pura. Mendekati masa “pensiun”, akhirnya dia memanggil
anaknya untuk menggantikannya berjualan bakso keliling. Katanya sangat sayang
sekali kalau berhenti begitu saja, dikarenakan sudah mempunyai banyak sekali langganan
baksonya. Dari berjualannya seperti itu, sudah tampak hasil jerih payahnya
selama ini. Tanah yang luas, rumah yang besar, beberapa rumah kontrakan, bahkan
kendaraan roda 4 pun dia miliki yang semuanya berada di jawa. Di perantauan dia
menyewa rumah yang sangat sederhana, yang penting bisa dipakai untuk tidur dan
memasak saja. Makan sehari – hari pun secukupnya saja, yang penting badan sehat
selalu.
Lain lagi, dengan cerita kang
sugimin. Gimin panggilan akrabnya. Pemuda 20 tahun ini hanya berjualan penthol
bakar. Dari usaha ini, dia mampu meraup keuntungan bersih 200 ribu per hari. Tetapi
memang, hidupnya di sini hanya digunakannya untuk bekerja. Waktunya habis untuk
meracik bumbu dan berjualan penthol bakar. Pada pagi – pagi buta, dia sudah
berada di pasar untuk membeli bahan – bahan serta menggilingkan daging sapi di
tempat penggilingan. Sesampai di rumah, dia langsung memasak serta membentuk
nya menjadi bulatan – bulatan kecil seperti penthol pada umumnya. Hal seperti
ini di lakukannya setiap hari sampai waktu mendekati dhuhur. Setelah dhuhur,
apabila persiapan dirasa sudah cukup, dia beristirahat melepas lelah. Sore hari
bakda ashar, dia segera berangkat berjualan menggunakan gerobak yang sudah
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa di pasang di atas motor. Mengambil
tempat yang lumayan ramai dan strategis, dia berjualan sampai jam 9 malam.
Setelah habis daganngannya, dia pulang dan tidur kembali. Jadi kalau saya
lihat, hidupnya hanya untuk jualan dan tidur. Memang penghasilannya melimpah,
akan tetapi ritme hidup yang seperti ini menurut saya sungguh sangat
disayangkan....(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment