Monday 28 December 2015

Kesetaraan Hak Bagi Para Difabel

Kita sering mendengar istilah difabel, akan tetapi jarang sekali kita memahami maksud dari kata difabel. Kata difabel merupakan sebuah singkatan yang berasal different abilities people ( orang dengan kemampuan yang berbeda ). Dengan demikian, mereka para difabel tidak bisa kita pandang sebagai ketidakmampuan atau kekurangan. Mereka adalah makhluk Tuhan yang sama di hadapan-Nya dengan kondisi fisik yang berbeda dan dapat melakukan aktifitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Para difabel juga memiliki hak yang sama sebagaimana manusia pada umumnya.
Setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak demi kelangsungan hidupnya di masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan peraturan yang termaktub dalam Undang – Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, bahwa “ Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan “. Hak pendidikan ini pun juga berlaku kepada mereka yang berkebutuhan khusus atau para difabel tanpa adanya diskriminasi. Sekolah adalah sebuah sarana untuk berinteraksi antar siswa dan harus memberikan fasilitas serta aksesibilitas dalam melaksanakan kegiatan belajar dengan tujuan mempersiapkan generasi yang akan datang. 
Gambar : Sebuah gambar ilustrasi bahwa difabel tidak boleh dipandang sebelah mata
Sumber : www.kabarkota.com
Undang – Undang No. 4 Tahun 1997 pasal 12 menyatakan bahwa lembaga – lembaga pendidikan wajib menerima para difabel sebagai siswa yang diwujudkan dalam bentuk sekolah model inklusi. Sekolah model inklusi adalah sekolah reguler ( umum ) yang menerima Anak  Berkebutuhan Khusus ( ABK ) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan siswa lain  melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya. Dengan adanya sekolah inklusi, maka siswa difabel dapat bersekolah di sekolah umum yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi. Guru yang menjadi pendamping siswa difabel pun adalah guru Sekolah Luar Bisasa ( SLB ) yang dijadikan guru kunjung dan bersertifikat sebagai guru SLB. 
Akan tetapi, tidak semua sekolah umum membuka sekolah inklusi. Hanya beberapa saja yang ditunjuk oleh dinas terkait yang menerapkan model inklusi di sekolahannya. Hal ini seperti menjadi jurang pemisah antara siswa umum dan siswa yang berkebutuhan khusus. Siswa ABK yang mempunyai kognitif bagus berhak untuk belajar bersama – sama dengan siswa normal lainnya. Sarana dan prasarana sekolahan harus dibuat sedemikian rupa sehingga siswa ABK bisa dengan mudah mengaksesnya. Contohnya adalah ada akses jalan khusus ke kamar mandi bagi penyandang ABK, disediakan jalan khusus bagi mereka yang tidak bisa melewati tangga, atau apabila gedung sekolahannya bertingkat, maka disediakan sarana lift untuk akses naik dan turun.
Di tingkat perguruan tinggi pun juga tidak jauh berbeda. Masih banyak beberapa institusi perguruan tinggi di negara kita yang mensyaratkan untuk tidak menerima calon mahasiswa yang berkebutuhan khusus. Hal ini sebenarnya bertolak belakang dengan undang – undang yang sudah ada. Kampus seharusnya membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin menuntut ilmu. Gedung kampus yang menjulang tinggi pun tidak ada layanan lift yang sebenarnya sangat berguna bagi para mahasiswa berkebutuhan khusus. 
Di negara maju, seperti negara Amerika Serikat (AS) , Inggris, Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya telah memiliki undang – undang khusus yang menangani permasalahan difabel. Negara menjamin kebebasan bagi setiap penduduknya untuk memperoleh pendidikan, termasuk bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Sebuah kampus di AS memodifikasi sedemikian rupa kampusnya dengan tujuan supaya kaum difabel mempunyai mobilitas yang lebih. Misalnya jalan di sekitar kampus dibuat rata dan tidak berbukit – bukit, kemudian disediakan layanan mobil jemputan bagi para mahasiswa difabel, kemudahan mengakses perpustakaan, bahkan pihak kampus juga membentuk sukarelawan bagi mahasiswa lain yang ingin membantu menuliskan catatan. 
Video : Video tentang gambaran fasilitas umum bagi difabel di negara Inggris.
Sumber : www.youtube.com 
Pemerintah seharusnya serius dalam memberikan kesempatan para kaum difabel untuk memperoleh pendidikan yang seluas – luasnya. Pemerintah melalui kementerian terkait harus menyediakan sarana dan prasarana, serta fasilitas pendukung yang lain yang bisa difungsikan untuk memenuhi kebutuhan belajar para kaum difabel. 
Beberapa daerah di Indonesia, melalui peraturan daerah ( perda ) sudah berusaha untuk lebih memperhatikan bagi kaum difabel dalam memperoleh akses publik. Misalnya adalah Pemerintah Daerah Kota Solo, yang belum lama ini memperoleh Piagam kebijakan Inovatif Tahun 2014 dari Zero Project International selaku penyelenggara nominasi aksesibilitas bagi difabel. Melalui sertifikat tersebut, disampaikan bahwa kota Solo telah memenuhi standart aksesibilitas terhadap difabel khususnya adalah bidang transportasi, informasi dan komunikasi. 
Bapak FX. Hadi Rudiyatmo, selaku walikota Solo menyampaikan bahwa, “ Solo adalah kota inklusi yang ramah terhadap difabel, maka tingkat pendidikan dari PAUD sampai dengan SMA / SMK tidak boleh menolak siswa difabel " ( www.Surakarta.go.id ). Hal ini dibuktikan dengan adanya sekolah inklusi di Solo, yakni terdapat 28 sekolah inklusi yang terbagi dalam : 15 SD, 7 SMP dan 6 SMA / SMK. Selain itu, pemerintah juga memberikan diklat bagi para Guru Pendamping Khusus ( GPK ) yang nantinya akan difungsikan dalam pendampingan ABK di sekolah inklusi. Pemerintah juga berencana membangun sarana dan prasarana yang bisa diakses para penyandang difabel secara bertahap. 
Dalam hal transportasi, pemkot juga membangun shelter Batik Solo Trans (BST) yang memungkinkan untuk dimanfaatkan para difabel, serta pelican crossing di beberapa titik lampu merah yang memungkinkan para difabel untuk menyeberang jalan raya. Pelican crossing adalah alat yang digunakan oleh pejalan kaki yang akan menyebrang di jalan raya, sehingga pejalan kaki merasa aman dan nyaman ketika menyebrang. Pelican crossing hanya memiliki 2 warna, yaitu merah dan hijau , serta beberapa rambu pendukung lainya yang sama seperti traffic light biasa. Di kota solo sendiri sudah ada pelican crossing, diantaranya adalah di depan Stasiun Purwosari dan di depan Rumah Sakit Umum Propinsi (RSUP) Moewardi. Penulis yang pernah tinggal di Solo dalam waktu yang cukup lama juga pernah merasakan fungsi pelican crossing ini, sehingga kita lebih aman dalam menyeberang di jalan raya.   
 Gambar : Pelican Crossing yang ada di depan RSUP Moewardi Solo
Sumber : www.hipwee.com
Beberapa kantor pemerintahan sudah ada yang melengkapi sarana fisik yang dapat menunjang kebutuhan para difabel, seperti akses jalan miring disamping tangga, yang dapat memudahkan para pengguna kursi roda. Sebagian besar di kantor pemerintahan kabupaten atau provinsi sudah disediakan akses khusus bagi para difabel. Namun untuk tingkat kecamatan atau kelurahan masih sangat terbatas. Banyak kaum difabel yang mengeluh akan fasilitas yang disediakan di kecamatan, sehingga mereka kerepotan mengurus surat – surat seperti akta atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). 
         Pemerintah seharusnya juga menggandeng para pelaku usaha untuk mewujudkan kota yang layak bagi difabel. Masih banyak di kota – kota besar di Indonesia yang masih minim dalam menyediakan sarana dan prasarana bagi para difabel. Apabila kita jalan – jalan di pusat perbelanjaan atau Mall, maka jarang sekali kita lihat aksesibilitas yang layak bagi penyandang difabel. Eskalator yang dibangun untuk memudahkan bagi pengunjung untuk naik atau turun gedung tidak compatible bagi mereka yang menggunakan kursi roda. Kemudian toilet di pusat perbelanjaan rata – rata juga dibuat seperti toilet pada umumnya, sehingga bagi penyandang difabel akan susah menggunakannya. Para pelaku usaha harus turut memikirkan bagaimana caranya agar para difabel juga bisa mengakses tempat usaha mereka. 
Bagi pengguna ruang publik,  seperti jalan trotoar,  juga banyak yang belum dipasang guiding block. Guiding block adalah jalur khusus diperuntukkan khusus bagi penyandang tunanetra di trotoar yang dibuat dengan dasar yang memiliki tekstur tertentu sehingga mudah dikenali oleh penyandang tuna netra dan tongkatnya. Banyak pengguna jalan yang kurang memahami akan fungsi guiding block ini. Dan lebih parahnya, banyak guiding block yang sudah rusak karena bahannya kurang baik atau karena sering dilindas oleh kendaraan bermotor yang melewati trotoar. 
Gambar : Guiding Block yang ada di trotoar diperuntukkan bagi tuna netra
Sumber : www.kompasiana.com
Kesempatan untuk berkreasi dan berkesempatan kerja adalah hak setiap individu. Begitu juga para difabel, mereka juga berhak untuk berkreasi, berpendapat serta berkesempatan kerja seperti yang lainnya. Convention on the Rights of Persons with Disability atau yang biasa kita kenal sebagai CRPD merupakan konvensi internasional mengenai hak difabel dan telah mendapat status legal penuh pada bulan Mei 2008. Di dalam pasal 21 CRPD menyebutkan tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat serta akses terhadap informasi bagi kaum difabel. Negara harus menjamin para difabel untuk dapat menggunakan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi serta ide atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya dan melalui semua bentuk komunikasi sesuai pilihan mereka. 
Dalam hal lapangan pekerjaan, CRPD juga mengaturnya sesuai dengan pasal 27, yakni membahas tentang pekerjaan dan lapangan pekerjaan.  Negara harus mengakui hak penyandang difabel untuk bekerja, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya dan mencakup hak atas kesempatan untuk membiayai hidup dengan pekerjaan yang dipilih atau diterima secara bebas di bursa kerja dan lingkungan kerja yang terbuka, inklusif dan dapat diakses oleh penyandang disabilitas.  
Walaupun sudah ada regulasi aturan tentang hak – hak para difabel dalam berekspresi serta berkesempatan kerja, pada kenyataannya di masyarakat masih ada diskriminasi yang menyudutkan para difabel. Banyak perusahaan di Indonesia, baik perusahaan milik negara atau swasta yang masih tebang pilih dalam merekrut karyawannya tanpa memperhatikan kemampuannya terlebih dahulu. Padahal seharusnya para difabel berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak serta mendapat perlakuan yang sama tanpa harus ada  diskriminasi. Kesempatan kerja bagi para difabel bisa disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya. Misalnya industri garmen atau konveksi, perusahaan bisa menyediakan kesempatan kerja bagi difabel, asalkan memenuhi kriteria dan syarat yang sudah ditetapkan perusahaan. Perusahaan juga wajib memberi sarana dan prasarana khusus bagi para difabel yang bekerja di tempatnya. 
Di Indonesia masih sangat minim perusahaan yang mau mempekerjakan penyandang difabel. Padahal sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998, yang menyatakan bahwa “ perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja perusahaannya “. Kenyataan di lapangan tidaklah demikian, yakni perusahaan jarang mau mempekerjakan para difabel. Kalaupun diterima bekerja, para buruh difabel yang notabene kaum minoritas diantara para pekerja normal lainnya sering mendapat perlakuan diskriminatif. 
Pemerintah selaku pemegang kebijakan hendaknya memikirkan dengan serius akan kesejahteraan para difabel. Pemerintah bisa bekerja sama dengan para stakeholder lain, yakni pihak swasta, masyarakat umum serta pejuang HAM difabel dalam penyediaan aksesbilitas, penyelenggaraan sekolah inklusi, penyediaan fasilitas umum di masyarakat yang support terhadap para difabel, serta tersedianya ruang untuk berekspresi dan kesempatan kerja bagi para difabel. Kaum difabel juga berhak mendapat kesetaraan sebagai warga negara seperti yang lainnya. Semoga !

Lomba blog ini diikutkan dalam rangka menyemarakkan International Day of Persons with Disabilities atau Hari Difabel Sedunia 2015 yang diselenggarakan oleh Rumah Blogger Indonesia ( RBI )

4 comments:

  1. Teman kuliah saya mengalami kecelakaan yang membuat dia harus diamputasi kakinya, tapi karena kampus kami memang tidak ramah terhadap orang yang berkebutuhan khusus, demi mengejar semangat hidup dan cita2nya dia memutuskan melanjutkan studinya di luar negeri. Alhamdulillahnya dia anak orang berada, lah kalo orangtuanya biasa saja bisa pupus lah harapan itu. Moga ke depan pemerintah lebih peduli terhadap ABK ini. (eri-k3)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, masih banyak instansi di negeri kita yang diskriminatif teradap difabel...negara kurang ramah kepada mereka...hampir terjadi di semua wilayah

      Delete
  2. Di kota tempat tinggal saya sekarang (Trondheim, Norway), fasilitas untuk difabel sangat mumpuni, bahkan pada sarana transportasi sekalipun. Namun, di sini tidak ada sekolah khusus difabel. Tidak ada pembedaan antara murid sehat dengan murid difabel. Semua dianggap setara. Itu juga yang membuat para difabel menjadi "lebih sehat" lagi hidupnya^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, saya baca literatur di hampir semua negara eropa memamng demikian...ndak tau kenapa ya, Indonesia yang nota bene berbudaya timur kog malah jauh tertinggal...di asia, jepang dan singapura sangat menghargai difabel

      Delete