Sunday 20 December 2015

Perantau punya cerita ( bag. 1 )




 


Merangkai cita – cita merupakan hak setiap manusia, tetapi mewujdkannya satu demi satu adalah kewajiban bagi mereka yang ingin sukses. 

Sudah 3 bulan lebih saya meninggalkan jawa, demi sebuah asa penghidupan yang layak di perantauan. Kalimantan Barat sebagai tempat kami mengadu nasib, berjuang untuk mengisi pundi – pundi uang guna pemenuhan tercukupinya kebutuhan sehari – hari. Memang berat meninggalkan keluarga, yang nota bene kami adalah anak rumahan. Sudah 30 tahun kami hidup bersama orang tua, akan tetapi di masa tua bapak dan ibu, kami justru meninggalkannya. Kalau dikatakan egois, ya memang demikian adanya. Toh menurut kami, yang saya lakukan ini demi kebaikan semua. Sebenarnya di dalam hati kecil saya, sungguh tidak tega melakukan ini semua. Merantau paling ideal adalah ketika umur masih muda, sekitaran 18 tahun – 23 tahun. Sedangkan saya memulai merantau ketika umur sudah menginjak 29 tahun. Ingin saya kembali ke kampung halaman, membersamai orang tua, bercengkerama dengan mereka, curhat dan meminta berbagai nasehat yang menyejukkan hati.


Di perantauan pun berbagai macam tantangan menghadang. No pain no gain, begitu kata pepatah asing. Tiada kesuksesan tanpa perjuangan. Persaingan untuk menghasilkan uang sungguh pelik, apapun dilakukan guna mendapatkan rupiah. Tak ada kata menyerah para perantau yang ingin maju dan sukses. Ada pedagang bakso, yang rela menghabiskan hari – hari nya untuk berdagang. Penjual jamu pun demikian juga, pagi dan sore digunakannya untuk berdagang. Penjual nasi goreng juga tak kalah sibuknya, prinsip mereka adalah hidup adalah untuk bekerja. Rata – rata mereka adalah perantau dari jawa, meninggalkan kampung halamannya dan mencari pengalaman yang baru. Mereka merantau bukan tanpa alasan. Rerata mereka mengikuti saudara atau orang tua mereka yang sudah merantau dulu. Usaha ini turun temurun, mewariskan kepada anak cucu mereka untuk melanggengkan dinasti bisnis mereka. 

Adalah  pak Saino, penjual bakso asal wonogiri. Sudah 30 tahun berdagang bakso keliling, menjajakan dagangannya di sekitaran kampus Universitas Tanjung Pura. Mendekati masa “pensiun”, akhirnya dia memanggil anaknya untuk menggantikannya berjualan bakso keliling. Katanya sangat sayang sekali kalau berhenti begitu saja, dikarenakan sudah mempunyai banyak sekali langganan baksonya. Dari berjualannya seperti itu, sudah tampak hasil jerih payahnya selama ini. Tanah yang luas, rumah yang besar, beberapa rumah kontrakan, bahkan kendaraan roda 4 pun dia miliki yang semuanya berada di jawa. Di perantauan dia menyewa rumah yang sangat sederhana, yang penting bisa dipakai untuk tidur dan memasak saja. Makan sehari – hari pun secukupnya saja, yang penting badan sehat selalu. 

Lain lagi, dengan cerita kang sugimin. Gimin panggilan akrabnya. Pemuda 20 tahun ini hanya berjualan penthol bakar. Dari usaha ini, dia mampu meraup keuntungan bersih 200 ribu per hari. Tetapi memang, hidupnya di sini hanya digunakannya untuk bekerja. Waktunya habis untuk meracik bumbu dan berjualan penthol bakar. Pada pagi – pagi buta, dia sudah berada di pasar untuk membeli bahan – bahan serta menggilingkan daging sapi di tempat penggilingan. Sesampai di rumah, dia langsung memasak serta membentuk nya menjadi bulatan – bulatan kecil seperti penthol pada umumnya. Hal seperti ini di lakukannya setiap hari sampai waktu mendekati dhuhur. Setelah dhuhur, apabila persiapan dirasa sudah cukup, dia beristirahat melepas lelah. Sore hari bakda ashar, dia segera berangkat berjualan menggunakan gerobak yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa di pasang di atas motor. Mengambil tempat yang lumayan ramai dan strategis, dia berjualan sampai jam 9 malam. Setelah habis daganngannya, dia pulang dan tidur kembali. Jadi kalau saya lihat, hidupnya hanya untuk jualan dan tidur. Memang penghasilannya melimpah, akan tetapi ritme hidup yang seperti ini menurut saya sungguh sangat disayangkan....(BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment